Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DIY beserta Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM telah melakukan penelitian perubahan sosial dan potensi konflik tahun 2016 di 5 kabupaten/kota se DIY termasuk di Kabupaten Sleman. Hasil dari penelitian yang melibatkan responden sebanyak 8000 orang dari unsur tokoh pemuda, tokoh perempuan, BPD, LKMD, Polsek, dan Koramil di sosialisasikan di Aula Gedung Unit I Pemkab Sleman pada Kamis (26/1).

Habib S.Sos., M.Si., dari PSKK UGM yang menjadi narasumber pada acara tersebut menyampaikan bahwa komposisi masyarakat DIY yang multikultur bisa menjadi sebuah kekuatan, namun apabila tidak ditopang oleh kekuatan modal sosial (social trust, social inclusion) yang memadai bisa menimbulkan konflik. Tujuan diadakannya sosialisasi tersebut adalah untuk mengkaji perubahan sosial dan potensi konflik yang terjadi di Kabupaten Sleman, Bantul, Kulonprogo, dan Gunungkidul, serta Kota Yogyakarta serta menyusun peta potensi konflik yang berdimensi pemerintahan, politik, sosial ekonomi, sosial budaya (identitas) dan kekerasan kelompok (premanisme) sebagai implikasi dari perubahan sosial yang terjadi di DIY.

Dari hasil penelitian yang didapatkan Habib menjelaskan bahwa disebagian besar kecamatan yang ada di Kabupaten Sleman, Indeks Potensi Konflik akibat tindakan premanisme meningkat, kecuali di Kecamatan Moyudan, Berbah, Kalasan, Cangkringan, dan Prambanan yang mengalami penurunan. Sedangkan Kecamatan Mlati, Depok, dan Gamping merupakan 3 kecamatan dengan potensi konflik premanisme tertinggi di Kabupaten Sleman.

Untuk konflik ekonomi Kecamatan Mlati, Kalasan, dan Gamping merupakan 3 kecamatan dengan nilai indeks potensi konflik Ekonomi tertinggi di Kabupaten Sleman. Sedangkan Kecamatan Minggir, Prambanan, dan Ngemplak merupakan 3 kecamatan dengan indeks potensi konflik ekonomi terendah di Kota Yogyakarta. “Sedangkan untuk Indeks Potensi Konflik dimensi politik ditahun 2016 mengalami peningkatan hampir di semua kecamatan kecuali di Kecamatan Minggir yang mengalami penurunan. Indeks Potensi Konflik tertinggi ada di Kecamatan Ngemplak, Kalasan, dan Prambanan dan Indeks Potensi Konflik terendah ada di Kecamatan Minggir,Cangkringan, dan Seyegan”, kata Habib.

Sementara itu Wakil Bupati Sleman Sri Muslimatun yang membuka langsung sosialisasi tersebut menyampaikan bahwa untuk menciptakan situasi aman dan nyaman bagi masyarakat maka potensi konflik perlu dikelola secara baik dan tepat . Mengingat tingginya tingkat heterogenitas ini, maka diperlukan upaya untuk menjaga agar kondisi ini tidak dimanfaatkan oleh orang atau golongan yang berniat memecah belah persatuan dengan dasar perbedaan tersebut.

”Untuk menjaga jangan sampai perbedaan yang ada menjadi sumber konflik, diharapakan kita lebih menciptakan kondisi kondusif di lapangan yang membutuhkan dukungan semua pihak agar tidak terjadi pengkotak-kotakan suku, agama dan lain-lain. Saya berharap dengan diadakannya sosialisasi ini, dapat menjadi sharing informasi sekaligus menjadi media dalam menyusun langkah-langkah konkrit yang dapat kita upayakan dalam menjaga ketertiban dan keamanan di Kabupaten Sleman”, jelas Muslimatun