Batik Indonesia telah ditetapkan  oleh UNESCO sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak 2 Oktober 2009. Kabupaten Sleman saat ini menjadi satu-satunya yang mengembangkan teknologi pembuatan pewarna alami tak hanya di Indonesia namun juga satu-satunya di Dunia. Hal tersebut diungkapkan oleh Prof. Suratman selaku Wakil Rektor Universitas Gajah Mada Bidang Penelitian dan Pengabdian Masyarakat dalam audiensi dengan Bupati Sleman terkait penelitian pewarna alami di kantor Sekretariat Daerah Kabupaten Sleman pada Kamis (15/12).

Dalam audiensi tersebut Suratman menyebutkan bahwa kerja sama Pusat Kajian Pewarna Alami UGM dengan  Pemerintah Kabupaten Sleman selain untuk meminta dukungan juga bertujuan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat yang berwawasan lingkungan, dengan pemanfaatan Sumber Daya Alam/Sumber Daya Manusia daerah yang berkualitas tinggi sehingga mampu bersaing dengan produk dari luar negri.  “Hingga Januari 2015 Indonesia masih mengimpor pewarna sintetis untuk tekstil hingga 80.000 ton perbulannya sekalipun penggunaan pewarna sintetis tekstil dalam kapasitas sangat besar sudah dilarang. Padahal Indonesia memiliki kemampuan penghasil pewarna alami blue indigo terbesar di pasar dunia dan pewarna alami memiliki manfaat yang baik untuk tubuh”, ungkap Suratman.

Bupati  Sleman Sri Purnomo dalam audiensi tersebut menanggapi bahwa Jogja sebagai kota yang terkenal dengan batiknya, dimana pasar batik di DIY memberikan kontribusi yang besar bagi pengusaha dan pengrajin batik. Limbah sintetis dari pewarna batik juga tidak sesuai dengan Keputusan Bupati Sleman Nomor 17/Kep.KDH/A/2004 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan  Peraturan Bupati No.35/2015 tentang tatakelola batik ramah lingkungan (eco batik) sehingga dibutuhkan keseriusan untuk mengembangkan pewarna alami yang ramah lingkungan.

Beberapa tantangan seperti kualitas dan kuantitas pewarna alami yang masih rendah hingga harga batik pewarna alami yang kurang bersaing di pasaran juga harusnya secepatnya dicarikan solusinya melalui penelitian  pada Pusat Kajian Pewarna LPPM UGM. Apabila permasalahan seperti tersebut sudah teratasi maka pengusaha dan pengrajin batik yang menggunakan pewarna alami dapat meningkatkan pasaran produksinya dengan pewarna alami yang lebih berkualitas dan bervariasi. Sehingga hal ini mampu menunjang pertumbuhan ekonomi masyarakat itu sendiri.

“Dengan adanya kerja sama Pusat Kajian Pewarna Alami LPPM UGM dengan Pemerintah Sleman maka diharapkan hal-hal yang masih lemah dalam penelitian ini khususnya faktor teknologi dalam standarisasi kualitas pewarna alami dapat teratasi. Sehingga pada sisi kualitas pewarna alami sendiri dapat bersaing dengan pewarna sintetis”, jelas Sri Purnomo.

Edia Rahyuningsih selaku ketua koordinator  Pusat Kajian Pewarna Alami mengatakan bahwa dari sisi harga, batik pewarna alami juga mampu bersaing dengan batik pewarna sintetis. “Sebenarnya harga dari batik pewarna alami ini tak kalah saing dengan batik pewarna sintetis yang mulai dari 120 ribu rupiah sementara batik pewarna alami mulai dari harga 200 ribu yang tidak terpaut jauh dalam sisi harga yang masih terjangkau”, jelas Edia.

“Untuk mewujudkan hal ini juga tak lupa harus didukung oleh seluruh lapisan mulai dari masyarakat hingga pemerintah serta juga dibutuhkan sinergi dengan penelitian lainnya seperti riset motif, bahan dan juga pemasaran sehingga dapat menghasilkan produk komersial yang berkualitas dan dapat bersaing demi mewujudkan Sleman sebagai sentra batik pewarna alam tak hanya ditingkat nasional, melainkan hingga tingkat internasional dimana pada saat ini hanya Sleman yang baru mengembangkan teknologi pembuatan pewarna alami”, kata Edia.