Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Surono, mengatakan sekitar 4 juta orang penduduk yang tinggal di daerah rawan gunung api di Indonesia. Meski begitu, tidak mudah untuk memaksakan mereka untuk direlokasi sehingga dibutuhkan komunikasi dan penambahan pengetahuan pada mereka dalam hal penanggulangan bencana. “Hidup harmoni dengan alam adalah jalan untuk menjembatani kejujuran gunung api dan kemauan manusia hidup di sekitar gunung berapi. Bukan tidak boleh ditempati, tapi asal diperhitungkan risikonya,” kata Surono usai membuka Konferensi Tingkat Dunia bidang Kegunungapian atau Cities on Volcanoes ke- 8 yang berlangsung di Kampus UGM, Selasa (9/9).

Konferensi internasional ini dihadiri Sebanyak 485 ilmuwan, pengamat dan relawan dari 39 negara.  Mereka membahas berbagai pengalaman, riset dan teknologi kegunungapian, serta mitigasi bencana erupsi gunungapi yang pernah diterapkan di kota-kota di seluruh dunia.
Surono menambahkan, ilmu vulkanologi atau kegunungapian sangat dibutuhkan oleh peneliti dan pengambil kebijakan untuk mengetahui perilaku dan karakter gunung api. Namun begitu, beberapa negara yang memiliki banyak gunung api seperti Indonesia justru memiliki keterbatasan dalam iptek. Konferensi semacam ini menurutnya penting untuk meningkatkan kerjasama antar negara agar saling membantu demi kemajuan ilmu pengetahuan kegunungapian dan mitigasi bahaya gunung api. “Kita tidak bisa merekayasa keinginan alam yang selalu berproses mencari keseimbangan baru, dampak erupsi tidak dibatasi batas wilayah. Sehingga tanggungjawab para peneliti, instansi dan masyarakat sekitar,” kata Surono.
Surono menyebutkan saat ini Indonesia memiliki 129 gunung api aktif yang sewaktu-waktu bisa meletus. Tidak hanya bencana erupsi, Indonesia juga dihadapkan pada risiko bencana gempa bumi. Bahkan terhitung sejak tahun 2000, ada 12 kali kejadian bencana gempa bumi besar di seluruh dunia yang sudah menelan korban lebih dari 1.000 jiwa. “Dari 12 kejadian itu, empat diantaranya terjadi di Indonesia,” katanya.
Surono berharap agar pemerintah baru mendatang lebih memberikan perhatian dalam hal penanggulangan risiko bencana. Selain itu, dia juga berharap agar Universitas Gadjah Mada segera menjadi pusat unggulan dunia di bidang vulkanologi.  “Syukur-syukur kalo UGM juga buka jurusan vulkanologi,” ujarnya.
Dosen Jurusan Geologi sekaligus Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Alumni UGM, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Soc., Sc., mengatakan kejadian bencana seperti gempa bumi, tsunami dan gunung berapi bisa berisiko menghancurkan perekonomian sebuah bangsa. Perguruan tinggi menurutnya harus berperan penting dengan bekerjasama dengan perguruan tinggi lain dalam pendidikan, riset dan teknologi dalam menularkan pengalamannya mengatasi bencana. “Saya harap isu kebencanaan bisa menjadi perhatian pemerintah yang baru,” katanya.

Sementara ketua International Association for Volcanology and Chemistry of the Earth’s Interior (IAVCEI), Raymond Cas, mengatakan salah satu model penanggulangan bencana erupsi gunung berapi yang diterapkan di seluruh dunia saat ini adalah dengan memahami perilaku gunung api yang akan meletus. Hal itu bisa dilakukan  lewat kemajuan pengetahuan dan teknologi, pengawasan dan observasi, sistem peringatan dini, serta komunikasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat yang didukung media massa dan peneliti.”komunikasi dan informasi yang disampaikan harus seimbang. Yang tidak kalah penting pendidikan tentunya tentang bahaya risiko bencananya,” pungkasnya.***