Sekolah Pengrajin Bambu Giatkan Kembali Produksi Kerajinan di Gentan
Minat generasi muda terhadap kerajinan furniture bambu mulai berkurang. Seperti di wilayah Dusun Gentan, Margoagung, Seyegan yang merupakan salah satu basis sentra industri kerajinan bambu di Sleman. Dalih himpitan ekonomi salah satunya, yang menginginkan pendapatan instan seperti menjadi buruh bangunan dan malas berkreasi menjadi alasan untuk meninggalkan dunia furniture kerajinan bambu yang sudah turun temurun digeluti para pendahulu mereka.
Berkaca dari kondisi tersebut, Marzuni selaku Ketua Kelompok Pengrajin Bambu ‘Roose Bambu’ di Dusun Gentan berinisiatif membentuk Sekolah Pengrajin Bambu bekerjasama dengan Yayasan Dompet Dhuafa. Ditemui di tempat kerjanya saat memberikan materi pelatihan pembuatan maket konstruksi bambu pada Sabtu (20/5), Marzuni menuturkan bahwa tahun 1980 hingga 1990an akhir hampir setiap rumah di Dusun Gentan adalah produsen lincak. “Sekarang yang tersisa hanya 45 pengrajin, itupun masih kembang kempis”, katanya.
Sekolah Pengrajin Bambu sendiri ia dirikan dengan tujuan untuk meningkatkan keterampilan para pengrajin dan generasi muda di wilayahnya dalam bidang produksi kerajinan bambu serta meningkatkan derajat ekonomi dan tambahan penghasilan. Jika digeluti secara serius kerajinan ini juga cukup membawa angin segar, pasalnya harga kerajinan bambu ini terbilang lumayan. Seperti yang dituturkan Marzuni harga satu set furniture meja kursi bambu dipasaran dijual dikisaran harga Rp 800.000 sampai Rp 1,5 juta.
Mengingat kebutuhan bahan baku untuk furniture semakin mahal, maka Marzuni juga membuat Sekolah Pembibitan bambu dan Sekolah Pengawetan Bambu bekerjasama dengan beberapa Perguruan Tinggi di Yogyakarta sebagai upaya agar bambu seperti jenis Wulung, Apus, Tutul, dan Petung dapat lestari dan terus tersedia dalam pemenuhan bahan baku. “Bibit bambu juga sangat dibutuhkan untuk suplai konservasi lingkungan, selain itu usaha pembibitan bambu juga menjadi tambahan penghasilan bagi keluarga tidak mampu yang tidak tertarik memproduksi kerajinan bambu”, jelas Marzuni.
Sementara itu Dr. Inggar Septia Irawati ST, MT, salah satu Dosen Teknik Sipil Universitas Gajah Mada yang juga memberikan materi dalam Sekolah Pengrajin Bambu menuturkan bahwa bambu memiliki keunggulan karakteristik tertentu diatas kayu. “Bambu memiliki sifat yang mirip dengan kayu, namun untuk sifat tertentu lebih tinggi seperti sifat tarik yang hampir sama dengan baja”, kata Inggar.
Dibandingkan kayu, bambu menurutnya lebih cepat dalam proses regenerasi karena hanya memerlukan waktu 3 tahun sedangkan kayu paling cepat 5 tahun. “Jika kayu dalam pemanfaatannya ditebang habis, bambu tidak. Dalam satu rumpun, bambu tumbuh 8 tunas sehingga dalam penebangan bisa disisakan 3 untuk regenerasi tunas lagi”, kata Inggar.
Inggar berharap kedepan pengolahan bambu di Indonesia dapat semakin maju untuk mengurangi ketergantungan pada kayu. Seperti di Cina yang sudah mampu memproduksi bambu laminasi menyerupai kayu. Menurutnya saat ini pihaknya sedang bekerjasama dengan Teknik Mesin UGM untuk mengembangkan alat produksi bambu laminasi. ”Kita tidak bisa serta merta mendatangkan alat dari Cina untuk memproduksi bambu laminasi karena karakter bambu kita berbeda. Jika di Cina dari pangkal ke ujung ukuran bambunya sama, ditempat kita dari pangkal besar dan ke ujung semakin kecil”, tambah Inggar.